Monday, September 18, 2006

Baso KOJEK

BASO KOJEK
Kira-kira artinya baso yang bulat seperti kojek (=bunder/bulet/gundul, red.kamus pribadi). Kalau jaman sekarang mungkin mirip dengan cilok, ondol-ondol, dll. Kalau tidak salah terbuat dari campuran tepung kanji dan terigu yang dibumbui garam, merica, bawang putih, daun kucai. Dibuat seperti bola-bola bakso dicemplungkan dalam rebusan air mendidih, dibiarkan mengapung, kemudian dikukus. Dimakan bersama saos kacang dan kecap.
Seorang penjual baso kojek di era kanak-kanakku namanya selalu tidak berhasil kuingat (Pak Radi? Atau siapa ya?!) tapi teknis menjual tidak pernah terlupakan.
Dengan mengendarai sepeda berpayung, si penjual membawa 1 dandang berisi baso kojek ditemani dengan bumbu kacang dan sebotol kecap, plastik pembungkus dan lidi yang sudah dipotong-potong ± 5 cm berfungsi sebagai garpu. Towet…towet…towet..! klaksonnya memanggili pembeli-pembeli kecil.
Rupanya kala itu pun si bapak sudah memiliki sense marketing cukup cerdas. Supaya menarik pembeli, baso kojek dagangannya diisi dengan abon, daging tetelan, bawang goreng, irisan kecil daun kucai atau sledri. Masing-masing isi dapat ditukar dengan hadiah-hadiah kecil seperti pensil, setip, penggaris, notes pramuka, gambar tempel, dan kartu bergambar. “Pak, aku abon kiye!” Teriakan kecil sambil menunjukkan kojek yang sudah digigit separo. “Enyong berarti olih buku kiye ya!” Hahahahaha….Alhasil jika ingin memiliki barang-barang yang diiming-iming si penjual, anak-anak akan membeli berulang-ulang hingga menemukan rasa yang sesuai dengan hadiah yang ditawarkan. Wah,….. Padahal tidak semua baso kojek ada isinya lo jadi untung si bapak dong karena dagangan cepat habis sementara stationary bonusnya masih tersisa. Boleh ni ditiru.

in the past

Jika anak-anak jaman sekarang asik dengan play station, game watch, barbie, atau technology games lainnya, tidak demikian dengan masa-masa tahun 80-an. Mo dengar?!...
Di suatu desa kecil di Brebes, listrik belum 100% dimiliki setiap keluarga jadi ada beberapa gang, rumah, dan sudut-sudut lain yang lebih redup karena memakai lampu sentir atau bahkan hanya berlampu bulan. Tapi meskipun begitu tidak menjadi masalah ketika anak-anak menghabiskan malam selepas maghrib untuk bermain sebentar di luar rumah.

Ada satu permainan petak umpet yang selalu membuat terkenang-kenang. Seperti biasa yang namanya petak umpet selalu ada yang sembunyi dan yang mencari. Terus bergantian sampai pemain memutuskan untuk berhenti. Nah, ada petak umpet yang mengesankan dan bisa jadi lain daripada yang lain. Permainan tidak dilakukan perorangan tapi berkelompok. Lucunya, setiap kelompok yang kebagian bersembunyi akan mencari tempat persembunyian yang ‘aneh’ tapi ‘asik’. Kebun pohon pisang adalah salah satu tempat persembunyian yang menarik. Anak-anak naik ke atas dahannya sambil menahan tawa (deg-degan juga kalau ketahuan lawan main). 1 pohon 1 anak. Dan entahlah, dalam gelap hanya dengan penerangan langit yang terang bulan, kelompok pencari dengan kreatif berhasil menemukan ‘musuh-musuh’nya. Hahahaha… menggunakan tongkat bambu menyangga pisang yang miring, mereka menjolok-jolokkan badan yang sedang erat memeluk dahan di atas. “Hayo! Sapa kuwe?!” Hahahahaha…

Atau, tempat persembunyian yang tidak kalah ‘heboh’ adalah tumpukan anggas/damen (tanaman padi yang selesai diiles dan kering). Anak-anak masuk ke dalamnya dan grup pencari akan menginjak-injak timbunannya. Bisa dibayangkan, badan tidak saja pegel-pegel tapi juga gatal-gatal karena tergores/tergesek tangkai-tangkai padi itu. Hahahahaha

Ketika itu anak-anak jarang yang merasa takut gelap (tidak seperti anak-anak sekarang yang terkontaminasi “dunia lain”). Kalaupun tiba-tiba ada kelompok pencari yang memutuskan untuk pulang tanpa pamit bukan karena takut dengan setan atau hantu di malam yang semakin gelap, tapi lebih disebabkan CURANG…….huuuuuuuuu (curang juga manusiawi kan asal jangan keterusan hehehe…)

Believe it or not… anak-anak dan keponakan-keponakan saya paling seneng mendengarkan cerita masa lalu itu. Meskipun sudah berulang-ulang kok mereka tidak bosan-bosan ya.

Thursday, September 07, 2006

SOTO BREBES

Tauconya itu lo….

Sudah 18 tahun aku jadi warga Jogja, tapi masih saja tidak bisa melupakan soto tauco kesayangan saya itu. Sampai-sampai karena ‘ngidam’ saya mengeksplorasi berbagai sumber informasi tentang warung makan di Jogja yang menjual masakan ini. Dan gagal tuh. Sampai hari H bayiku lahir, belum juga terobati hasratku melahap semangkuk soto yang panas. Wah,… sampai beberapa bulan anakku jadi ngileran. Busyettt….
Banyak soto tauco di Brebes yang sip-sip tapi ada yang sip lagi di alun-alun kota Tegal. Keluargaku familiar memberi sebutan ‘soto senggol’ alias makannya sambil senggol-senggolan karena cukup laris. Mangkuknya kecil sehingga isinya jadi nampak menggunung. Siapa yang sudah pernah coba?!
Info:
Baru-baru ini kutemukan warung makan di jl. Kaliurang Jogja yang menyediakan menu soto … dengan tauco juga, tapi ternyata masih kalah jauh tuh. Adakah teman-teman yang punya referensi dan direktori soto tauco lainnya?! Kontak aku ya……

KRUPUK MI GORENG WEDI Vs SAMBEL TELA
Ini lagi, makanan andalan masa kecil yang sering ngangeni. Krupuk berwarna merah dan kuning dengan diameter kira-kira 10cm itu asik dinikmati sambil ngobrol.
Tahu nggak cara bikinnya?! Seperti biasa orang menggoreng krupuk, bedanya minyak gorengnya diganti dengan pasir (wedi) yang sudah dibersihkan. Ketika pasir sudah panas, krupuk diselamkan ke dalamnya. Tidak lama krupuk akan ‘nongol’ menandakan kematangannya.
Umumnya pasangan makan krupuk ini adalah sambal yang terbuat dari ubi jalar rebus yang di’uleg’ bersama lombok, gula, terasi, garam, dan asem secukupnya.
Dulu (banget) seingatku, dengan uang Rp. 25,- kita dapat 5 krupuk dengan olesan sambal di atasnya. Pernah saking tergila-gila dengan kelezatan sambalnya, kuborong 1 mangkuk sekaligus meskipun si penjualnya protes. Enak nemen je.

Wednesday, September 06, 2006

KRACA

Halo Brebes mania… pernahkah merasakan sensasi menyantap KRACA?
Mungkin orang-orang tempo dulu (1980an) tidak asing dengan ‘snack’ ini. Entahlah, sekarang masih ada nggak ya?! Keong sawah yang dimasak dengan bumbu kluban, dengan parutan kelapa dan kadang ada taste pedesnya. Biasanya Kraca yang kita terima dari penjual, dipiringi dengan ‘pincuk’ daun pisang.
Kalau ingat perjalanan si keong itu sampai ke mulut ke kita, hmmm rasanya begitu sensasional. Ada yang langsung ‘disruput’ untuk mendapatkan dagingnya. Ada juga yang sedikit bersusah payah dengan mencongkel pintu masuk rumah keong itu terlebih dulu dengan ‘biting’ (lidi). Setelah terbuka lidi tadi ditusukkan pada daging di dalamnya, dan siap deh kita bawa ke mulut. Nyam-nyam-nyam. Pengalaman mengutak-atik kraca mengingatkan pada ‘nafas’ Brebes di waktu yang sangat lalu. … … Kapan ya bisa puas mengenang masa lalu itu?

pengunjungku, thanks ya
Free Site Counters